Wednesday 11 August 2010

Mungkin Akan Datang Suatu Masa Ketika DORAEMON Adalah Sesuatu Yang Biasa

Berawal dari buka puasa bersama temen-temen komplek rumah gw minggu lalu; besoknya buka puasa bersama temen-temen IPA sewaktu SMA; 4 hari yang lalu gw buka puasa bersama temen-temen satu jemputan waktu SD; hari ini berencana buka puasa bersama temen-temen sekelas semasa tingkat satu di perkuliahan; juga buka puasa bersama temen-temen satu tongkrongan –asik yah anak nongkrong.ahahaa– sewaktu di SMA yang akan dilaksanakan dalam beberapa waktu ke depan yang gw fikir tidak akan jauh berbeda dari buka bersama yang udah-udah sebelumnya.
Semuanya hanya akan membawa memori kepada kita, pada suatu masa, ketika kita –gw dan teman-teman, mengingat-ingat, membicarakan, membahas, menertawakan, apapun, yang dulu pernah terjadi ketika kita masih menjalani hari-hari bersama. Sebuah memori yang membekas dalam ingatan, hanya dalam ingatan, karena cerita-cerita tersebut kini sungguh sudah tidak ada. Cerita-cerita yang sudah lama mati, tapi tetap dan akan selalu hidup dalam sebuah ingatan, dalam potongan-potongan kecil dalam setiap kepala, yang hanya akan terasa benar-benar hidup ketika potongan-potongan tersebut disatukan.

Tentang kenangan, tentang memori, tentang masa lalu, tentang kita di masa itu.
Lalu dimana kita di masa lampau itu berada, sekarang?

Sungguh terlalu mengerikan untuk kita berfikir bahwa kita, manusia, seluruh yang ada di dunia hanyalah lembaran-lembaran kehidupan yang sebenarnnya tidak pernah hidup sama sekali. Mari membayangkan seandainya kita yang ada di masa lampau sesungguhnya tetap ada, tetapi hanya berbeda dimensi waktu dengan kita yang sekarang, meski kita yang sekarang merupakan output dari kita yang lampau. Coba fikirkan kita satu jam yang lalu sebenarnya tidak sama dengan kita saat ini, kita pada pukul 21:00:00 ternyata bukan kita pada pukul 20:59:59 atau dengan kata lain, bahkan sedetik yang lalu pun sesungguhnya sebuah wujud yang berbeda dari satu detik setelahnya. Tentu dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa kita tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan gambar kartun, yang terkesan hidup, bergerak, bernyawa, tapi sesungguhnya hanya lembaran-lembaran kehidupan yang tidak lain hanya seolah hidup karena terjerat dimensi waktu yang saling berbeda namun begitu berkaitan.

Sebuah sudut pandang yang cukup berbeda dari kebanyakan, karena gw percaya, sekali lagi, karena gw percaya, bahwa kita tidak hanya sekedar lembaran-lembaran tidak hidup seperti yang tadi gw sebutkan.
Entah bagaimana menjawab pertanyaan yang sempat muncul di awal tulisan ini tadi, tapi sesungguhnya kita yang sekarang hanyalah sebuah bentuk implikasi dari kita yang sebelumnya. Bahwa kita di masa mendatang hanyalah sebuah tanggung jawab dari kita saat ini, begitu seterusnnya.
Entah berada dimana kita yang lampau atau kita masa depan saat ini, tapi kenyataannya ‘mereka’ adalah suatu kesatuan, saling berkorelasi, membentuk hubungan, bahkan saling sebab-akibat.

Ketika manusia berbicara mengenai sebuah masa, entah masa lalu atau masa mendatang, tentu akan bersinggungan dengan variabel waktu, sebuah dimensi yang amat sulit untuk di deskripsikan. Dulu *entah berapa tahun yang lalu* gw selalu menegaskan bahwa satu-satunya variabel pasti yang ada di dunia adalah variabel waktu, karena hanya waktu yang terus berjalan, selalu bergerak, mengalir, pelan, pasti.

Mungkin sudah menjadi rahasia umum, ketika dalam gelap malam kita melihat gemerlap bintang dalam bentang langit yang terhampar begitu luas jauh di atas kepala kita, bahwa sebenarnya bintang yang kita lihat tersebut bukan merupakan bintang yang kita lihat saat itu juga, melainkan bintang yang ada saat jutaan bahkan mungkin milyaran tahun yang lalu, yang bisa jadi ketika kita melihatnya sesungguhnya bintang tersebut sudah tidak ada, hancur, atau bertumbukan dengan bintang lain, tetapi hanya saja cahayanya baru sampai di mata kita. Kecepatan cahaya yang ‘hanya’ 300 ribu km per detik itu ternyata baru sampai di bumi setelah berjuta-juta atau bahkan bermilyaran tahun yang lalu.
Dengan kata lain, cahaya bintang yang kita lihat sesungguhnya hanyalah sebuah bayangan dari masa lalu. Bahwa dengan melihat bintang tersebut sebenarnya kita telah melihat masa lalu.
Berangkat dari teori sederhana ini, seandainya kita aplikasikan ke dalam rentang kehidupan di bumi pada masa lampau hingga saat ini, mungkinkah –jika sekarang belum– suatu saat nanti manusia mampu menciptakan teknologi untuk pergi ke masa lampau dan masa mendatang dengan menembus dimensi waktu. Jika kita mampu melihat masa lalu melalui bintang di langit, apakah suatu saat nanti ada kemampuan untuk mengetahui masa lalu dalam sebuah kehidupan, kembali dan melihat orang-orang di masa sekarang –yang sesungguhnya akan menjadi masa lalu bagi orang-orang di masa mendatang– dengan menembus dimensi waktu. Siapa yang dapat menjamin bahwa Fujiko F. Fujio (pengarang komik Doraemon) hanya berimajinasi dengan mesin waktunya, pintu kemana saja, dan baling-baling bambunya? Siapa yang dapat memastikan bahwa Akira Toriyama (pengarang komik Dragon Ball) hanya menceritakan sebuah kisah fiktif, ketika pada bagian salah satu tokoh certianya yaitu trunks, ternyata mampu kembali ke masa lalu, masa saat dia belum terlahir di dunia?
Meski bagi gw ini hanyalah gagasan yang tidak cukup pintar untuk diangkat, yang gw dapat dari sebuah pemikiran seorang sahabat setelah berhasil membaca novel Harry Potter melalui sudut pandang yang berbeda, Apakah bukan sebuah kemungkinan bahwa hasil karyanya melalui bacaan untuk anak-anak tersebut sebenarnya merupakan inspirasi yang di dapat dari orang-orang masa depan? Terlepas entah seperti apa mereka mentransfer gambaran tentang kehidupan di era-nya itu kepada orang-orang saat ini melalui seorang pengarang komik.
Dan, siapa yang mampu menjamin bahwa tulisan yang gw keluarkan dari sebongkah gumpalan kecil di kepala sebagai pusat syaraf –melalui tangan– ini semua, sebenar-benarnya hanya merupakan imajinasi dari gw seorang?

***
Ini hanya sepenggal pemikiran yang pernah ada dalam kepala gw, yang mungkin setiap orang juga pernah merasakan hal yang kurang lebih, bahkan sama seperti yang gw rasakan.
Gw sedikit tarik sebuah pesan positif dari tulisan di atas, bahwa hanya dengan melakukan yang terbaik lah untuk kita mendapatkan apa-apa yang terbaik, bahwa kita di masa depan –entah besok, lusa, tahun depan, atau beberapa tahun lagi– tidak lain hanyalah bentuk implikasi dari kita saat ini, dan kita saat ini lah yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk kita di masa depan, seperti favorite quote gw ‘takdir seseorang adalah atas apa yang telah di perbuat, terlepas ada ketentuan ALLAH yang tidak dapat di ganggu gugat’.
Dan mengenai kebenaran sejati yang sempat gw singgung sedikit di note sebelum ini, gw sedikit menggeser pemahaman mengenai kebenaran sejati, bahwa kebenaran sejati sesungguhnya hanyalah sebuah bentuk kepercayaan terhadap sesuatu yang di anggap benar. Atau seperti ini, bahwa sesuatu yang di anggap, di yakini, di percaya benar, akan menjadi sebuah kebenaran bagi seseorang, karena kebenaran sejati tidak lain hanya merupakan hubungan emosional antara manusia dengan sesuatu yang di percaya, di yakini, dan di anggap benar.
Mantan presiden RI Soekarno pernah berucap ‘Bangsa yang kerdil adalah Bangsa yang tidak pernah belajar dari sejarahnya’, jika pernyataan ini diterapkan dalam kehidupan manusia mengenai kebenaran yang hakiki, bunyinya mungkin menjadi seperti ini ‘manusia yang bodoh adalah mereka yang tidak mampu menarik ilmu dari orang-orang sebelum mereka’.
Mari temukan kebenaran sejati, dengan sejarah yang ada.

Terlalu amat sangat banyak pertanyaan malam yang telah gw ajukan, yang gw fikir tidak akan pernah gw temukan jawabannya.
Hanya karena alam semesta dan isinya terlalu sempurna untuk di ketahui seluruhnya oleh manusia.

Sungguh aku tidak pernah ingin menyembunyikan ke-Maha Agung-an Mu Tuhan.
Khairul Umam Gunawan, 14 September 2009.

No comments:

Post a Comment